Oleh: Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang
tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang
barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan
hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai
ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai
ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal
peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat
telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan
merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan
terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied
(hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah
menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu
bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau
bersabda.
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha”.
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini
bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik,
kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan
ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan
baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang
panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan
umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan :
“Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam
ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya
umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur
yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah
menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta
menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ﴿١٨٢﴾وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka.
Sesungguhnya rencana amat teguh”. [Al-A’raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ
لِأَنْفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا ۚ
وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian
tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya
Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa
mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan”. [Ali-Imran/3 : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150
Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan,
Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
0 komentar:
Posting Komentar