Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman dan meyakini dengan keyakinan yang
pasti bahwa Allah Azza wa Jalla telah menurunkan kepada para Rasul-Nya
Kitab-kitab yang berisikan perintah, larangan, janji, ancaman dan apa
yang dikehendaki oleh Allah terhadap makhluk-Nya, serta di dalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari
Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan
Rasul-rasul-Nya.” [Al-Baqarah: 285]
Al-kutub (الْكُتُبُ) adalah bentuk jamak dari kata kitaab (كِتَابٌ)
yang berarti ‘sesuatu yang ditulis’. Namun yang dimaksud di sini adalah
Kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya sebagai
rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ
الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ
اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ
عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka menggunakan besi itu) dan
agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadiid: 25]
Iman kepada Kitab-kitab mengandung empat unsur:
1. Mengimani bahwa Kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Mengimani Kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti
Al-Qur-an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissallam, Injil
yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan Zabur yang
diturunkan kepada Nabi Dawud Alaihissallam, Shuhuf Ibrahim Alaihissallam
dan Musa Alaihissallam. Adapun Kitab-kitab yang tidak kita ketahui
namanya, maka kita mengimaninya secara global.
3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita
yang terdapat di dalam Al-Qur-an, dan berita-berita Kitab-kitab
terdahulu sebelum diganti atau sebelum diselewengkan.
4. Melaksanakan seluruh hukum yang tidak dinasakh (dihapus) serta
rela dan berserah diri kepada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya
maupun tidak. Dan seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh
Al-Qur-anul Karim.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur-an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan sebagai ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu…”
[Al-Maa-idah: 48]
Oleh karena itu, tidak dibenarkan melaksanakan hukum apapun dari
hukum Kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan oleh
Al-Qur-anul Karim [1].
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Syarah Ushuulil Iimaan (hal. 32-33) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Kedua puluh satu:
AHLUS SUNNAH MENGIMANI BAHWA AL-QUR-ANUL KARIM ADALAH KALAMULLAH, BUKAN MAKHLUK
Termasuk iman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya, yaitu mengimani
bahwa Al-Qur-an adalah Kalamullah [1] yang diturunkan (dari-Nya), bukan
makhluk. Al-Qur-an berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dan
bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara secara hakiki.
Allah al-Qadiir berfirman:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” [An-Nisaa’: 164]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah Jalla Jalaluhu benar-benar
berbicara kepada Nabi Musa Alaihissallam dan tidak boleh ditakwil dengan
penafsiran yang lainnya. [2]
Juga firman Allah al-Mubiin:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ
يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
pertolongan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak
mengetahui.” [At-Taubah: 6]
Al-Qur-an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar-benar kalamullah,
bukan perkataan makhluk-Nya, serta tidak boleh berpendapat bahwa
Al-Qur-an itu hikayat (cerita) atau ibarah (terjemah) dari kalamullah
atau majaz (kiasan). Pendapat ini adalah sesat dan menyimpang bahkan
dapat menyebabkan kekufuran.[3]
Syaikh Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H) rahimahullah
berkata: “Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah
kalamullah, kitab, firman dan wahyu yang diturunkan-Nya, bukan makhluk.
Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah
makhluk, maka ia kafir menurut pandangan mereka (Ahlus Sunnah).
Al-Qur-an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan oleh Allah
melalui perantaraan Malaikat Jibril Alaihissallam kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa Arab, untuk orang-orang yang
berilmu, sebagai peringatan sekaligus kabar gembira. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla :
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِين َنَزَلَ بِهِ الرُّوحُ
الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan sesungguhnya Al-Qur-an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb
semesta alam, ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [Asy-Syu’araa’:
192-195]
Al-Qur-an adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada ummatnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah
Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu…” [Al-Maa-idah: 67]
Dan yang disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kalamullah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُ
نَفْسَهُ عَلَى النَّاسِ فِي الْمَوْقِفِ فَقَالَ: أَلاَ رَجُلٌ
يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُوْنِي أَنْ
أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّي.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan dirinya kepada
manusia pada waktu ibadah haji, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Siapa di antara kalian yang sudi membawaku kepada kaumnya?
Sesungguhnya kaum Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam
Rabb-ku.” [4]
Al-Qur-an adalah kalamullah, bagaimana pun keadaannya, apakah yang
terjaga di dalam dada (yang dihafal oleh kaum Muslimin) atau yang dibaca
oleh lisan, yang ditulis di mushaf-mushaf. Al-Qur-an adalah kalamullah;
lafazh, maknanya serta termasuk huruf dan maknanya adalah kalamullah.”
[5]
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ فَهُوَ جَهْمِيٌ، وَمَنْ قَالَ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ.
“Barangsiapa yang berkata bahwa ucapan saya yang melafazhkan
Al-Qur-an adalah makhluk, maka ia adalah penganut Jahmiyyah. Dan
barangsiapa yang berkata bukan makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah.” [6]
Jika ada seseorang yang mengingkari sesuatu dari Al-Qur-an atau
berkeyakinan bahwa ada kekurangan atau sesuatu yang perlu ditambah
(padanya), maka ia telah kafir.
Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: “Al-Qur-an adalah
kalamullaah, bukan makhluk. Barangsiapa yang berkata: ‘Al-Qur-an adalah
makhluk,’ maka ia telah kufur kepada Allah Yang Mahaagung, tidak
diterima syahadatnya, tidak boleh dijenguk apabila ia sakit, tidak
dishalatkan apabila meninggal, dan tidak boleh dikuburkan di pemakaman
kaum Muslimin. Ia harus diminta bertaubat, kalau tidak mau, maka harus
dipenggal kepalanya.”
Al-Qur-an wajib ditafsirkan menurut pemahaman Salafush Shalih (para
Sahabat) [7] dan tidak boleh menafsirkan semata-mata dengan ra’yu
(logika) karena hal tersebut berarti mengata-kan sesuatu atas Nama Allah
dengan tanpa ilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun
menafsirkan Al-Qur-an dengan ra’yu (logika) semata hukumnya adalah
haram.” [8]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Tentang masalah ini lihat al-‘Aqiidatus-Salafiyah fii Kalaami
Rabbil Bariyyah wa Kasyfi Abaathillil Mubtadi’ah ar-Radiyyah (cet.
I-1408 H) oleh ‘Abdullah bin Yusuf al-Judai’.
[2]. Lihat ar-Raddu ‘alal Jahmiyyah (hal. 155, cet. II-Daar Ibnul Atsir,
1416 H) oleh Imam Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi (wafat th. 280
H), tahqiq Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[3]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 20).
[4]. HR. Abu Dawud (no. 4734), at-Tirmidzi (no. 2925), Ibnu Majah (no.
201), al-Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (hal. 41), ad-Darimi dalam
ar-Radd ‘alal Jahmiyyah (no. 285), Ahmad (III/390), al-Hakim
(II/612-613), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Hadits
ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim dan disetujui oleh Imam
adz-Dzahaby.
[5]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 30-31, no. 6), tahqiq dan takhrij Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[6]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 33) dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (XII/325).
[7]. Sanadnya shahih. Disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul
Huffaazh (II/ 728-729) secara ringkas. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil
Hadiits (hal. 31, no. 7).
Catatan: Yang berhak melaksanakan hukuman ini adalah ulil amri (pemerintah/ hakim)
[8]. Sebagaimana yang termuat di dalam muqaddimah Tafsiir Ibni Katsiir
((I/4-8), cet. Daarus Salaam) bahwa Al-Qur-an ditafsirkan dengan:
1. Al-Qur-an, atau
2. As-Sunnah, atau
3. Perkataan para Sahabat Radhiyallahu anhum, atau
4. Perkataan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, kemudian
5. Secara bahasa (lafazh bahasa Arab).
Lihat Muqaddimah fii Ushuulit Tafsiir karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (hal. 84-94), Daar Ibnul Jauzi, th. 1414 H, tahqiq Fawwaz
Ahmad Zamrali.
[8]. Ibid, hal. 96.
0 komentar:
Posting Komentar