Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun
isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا
فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ
لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ
خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang
budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta
do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon
kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung
dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin
Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu
shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata:
‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami
mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka
mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu
itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya
terserah kamu berdua…!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir
dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta
berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk
membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu,
maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu.
Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِيْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ،
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي، اَللَّهُمَّ
اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا
فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta
berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku
lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya
Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah
antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan
radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya
panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun
datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas
itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya
dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan
berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu
dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan
dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada
kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila
Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya,
niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ
وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu
kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik)
untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang
beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar
bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah,
celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar
menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga
turunlah ayat kepada beliau:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ.
“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi
hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang
haidh”. [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مُقْبِلَةٌ مُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَتْ فِي الْفَرْجِ
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia
tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab
dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan
kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi
jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin
mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam
satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?”
Beliau menjawab.
هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]
• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu
saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang
suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi
isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau.
Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha-
yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya
(berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِيْ
صُوْرَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ
أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِيْ نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan
membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari
kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia
mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang
ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang
melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi
isterinya – atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya
untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan
pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan
berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”
.[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
يَا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ
“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan
lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah,
‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada
waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang
bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا: فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau
menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir
terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam.” [16]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا
“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan
oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum
suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas
Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ أَوْ نِصْفِ دِيْنَارٍ
“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang
haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاح
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’
(bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih
dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ
لِلصَّلاَةِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرَبَ وَهُوَ جُنُبٌ
غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau
berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan
atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya
kemudian beliau makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam
keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’)
untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak
pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah
riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga
dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia
hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di
sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ
ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat
adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”
[23]
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan
(menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan
laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia
menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa
yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga
dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah
perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia
rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
““Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena
Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang
paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah
laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama
dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor –
Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah
(no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi
(VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz
Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no.
30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz
Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423
H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458).
Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus
Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283,
5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092),
ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun
Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan
lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin
al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah
belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi
isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan.
Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia
menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60),
at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.
4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil
Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan
lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat
al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad
(III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i
dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan
Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi
(no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330,
341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah
(I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi
(no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408,
476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130,
131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah
al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i
(I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172),
dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz
Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139),
Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no.
306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul
Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437),
Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan
an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.”
Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142).
Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang
melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).
0 komentar:
Posting Komentar