Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh
pada al-Qur`ân dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala
permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua
pendapat yang menyelisihi keduanya.
Namun kita lihat pada kenyataannya, ada sebagian orang mengharuskan
umat Islam fanatik kepada salah satu dari empat madzhab, yaitu
Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah. Bahkan ada yang berani
mengharamkan pengambilan pendapat dari selain madzhabnya.
Oleh karena itu, pada tulisan ini kami akan menyampaikan tentang
makna taqlîd dan taqlîd yang diharamkan, sehingga kita benar-benar bisa
ittibâ’ (mengikuti) agama Allah Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya.
MAKNA TAQLID
Secara bahasa taqlîd berarti meletakkan kalung di leher. Adapun secara
istilah agama, para Ulama mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat yang
sedikit berbeda, namun intinya sama. Berikut adalah beberapa penjelasan
Ulama tentang makna taqlîd:
1. Al-Amidi rahimahullah berkata, taqlîd adalah,
الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ مُلْزِمَةٍ
Mengamalkan pendapat orang lain dengan tanpa ada hujjah/argumen yang mewajibkan (amalan itu-red). [Al-Ihkâm 4/221]
2. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa taqlîd adalah,
قَبُوْلُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
Menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah. [Raudhatun Nazhir, hlm. 205]
3. Ibnu Subki rahimahullah dalam kitab Jam’ul Jawâmi’ menyatakan bahwa taqlîd adalah,
أَخْذُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ دَلِيْلِهِ
Mengambil suatu perkataan/pendapat tanpa mengetahui dalilnya.
4. Syaikh al-Kamal bin al-Humam rahimahullah dalam kitab At-Tahrîr, mendefinisikan taqlîd sebagai berikut:
اْلعَمَلُ بِقَوْلِ مَنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَجِ بِلاَ حُجَّةٍ مِنْهَا
Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya bukan termasuk hujjah
dengan tanpa hujjah/dalil. [At-Tahrîr, hlm. 547; dinukil dari At-Taqlîd
1/8]
Yang dimaksud dengan “Mengamalkan perkataan/pendapat orang lain”,
adalah meyakini kebenaran ijtihad orang lain dan melaksanakannya.
Menurut Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah “ Ijtihad itu
ada pada dua perkara:
Pertama: Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya (dalilnya).
Kedua: Perkara yang ada nash-nash namun nash-nash ini seakan
bertentangan, sehingga harus ada ijtihad dalam menggabungkan atau
mentarjîh (menguatkan salah satu nash).[1
Dan yang dimaksud dengan “Hujjah/argumen yang mewajibkan”, adalah
hujjah yang wajib diamalkan, yaitu dalil yang dipandang syari’at bisa
untuk menetapkan hukum, seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.
PERBEDAAN ANTARA ITTIBA’ DENGAN TAQLIID
Sebagian orang tidak bisa membedakan antara ittibâ’ dengan taqlîd, padahal di antara keduanya terdapat perbedaan nyata.
Taqlîd adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau
perbuatan orang lain dengan tanpa ada dalil yang mewajibkan perbuatan
itu ataupun membolehkannya. Seperti seorang awam atau mujtahid mengambil
dari orang awam, karena dalil tidak mewajibkan dan tidak
membolehkannya. Kecuali orang awam yang mengambil dari mujtahid atau
mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain dalam keadaan-keadaan
tertentu.
Sedangkan ittibâ’ adalah seseorang mengambil atau mengamalkan
pendapat atau perbuatan orang lain dengan ada dalil yang mewajibkan.
Seperti seseorang mengikuti apa yang ada di dalam al-Qur’ân, atau yang
datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau qâdhi (hakim) yang
mengambil perkataan saksi-saksi yang adil; karena dalil mewajibkan
mengamalkannya.
Ada persamaan antara taqlîd dan ittibâ’ dari sisi mengambil atau
mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain; sedangkan perbedaannya,
taqlîd dilakukan dengan tanpa dalil, sedangkan ittibâ’ dilakukan dengan
dalil.
KEWAJIBAN ITTIBA’ DAN TAQLID YANG HARAM
Hukum asal dari ittibâ’ (mengikuti dalil) adalah diperintahkan, sedangkan taqlîd terlarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya). [al-A’râf/7:3]
Namun, karena sebagian orang tidak mampu ittibâ’ dalam segala keadaan
ataupun sebagiannya, maka mereka ini diperbolehkan taqlîd, sebagaimana
penjelasan Syaikh asy-Syinqîthi. Beliau rahimahullah mengatakan : “Tidak
ada yang menyelisihi tentang kebolehan taqlîd bagi orang awam kecuali
sebagian kelompok Qadariyah.”[2] Namun, hukum ini tidak bisa diterapkan
dalam semua bentuk taqlîd karena ada beberapa bentuk taqlîd yang
dilarang, misalnya:
A. Taqlîd (Mengikuti) Nenek Moyang Dan Berpaling Dari Wahyu.
Contohnya, seperti yang dilakukan orang-orang musyrik di zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Azza wa Jalla memberitakan keadaan
mereka dan mencela mereka dengan firman-Nya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ
نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ
يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan
Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang
kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan
mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dalam al-Qur’ân
Allah Azza wa Jalla mencela orang yang menyimpang dari mengikuti
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kearah agama selama ini dia
praktikkan yaitu agama nenek moyangnya. Inilah taqlîd yang diharamkan
oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti selain Rasul
dalam masalah yang diselisihi oleh Rasul. Taqlîd ini hukumnya haram bagi
siapapun, berdasarkan kesepakatan umat Islam, karena tidak boleh taat
kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada al-Khâliq”. [Qawâidul
Ushûl, hlm 45]
B. Taqlîd Kepada Orang Yang Tidak Diketahui Keahliannya Dalam Agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ’/17:36]
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla
melarang seorang Muslim mengikuti apa yang tidak ia ketahui, sementara
hukum asal dari sebuah larangan adalah haram. Orang yang bertaqlîd
kepada orang yang tidak ia ketahui keahliannya, berarti dia telah
mengikuti sesuatu yang tidak ia ketahui, sehingga hukumnya haram.
[At-Taqlîd, 1/15]
C. Taqlîd Setelah Mengetahui Dalil Yang Menyelisihi Pendapat Orang Yang Diikuti.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`ân) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]
Sisi pengambilan dalil ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla
memerintahkan para hambaNya agar mengembalikan urusan yang mereka
perselisihkan ke al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau begitu, berarti
mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah hukumnya
haram. Dan orang yang bertaqlîd kepada seseorang setelah mengetahui
dalil yang menyelisihi pendapatnya, maka dia telah mengembalikan
perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah, sehingga hukumnya
haram. [At-Taqlîd, 1/16]
Di antara bentuk-bentuk taqlîd terlarang lainnya adalah :
1.Orang awam mengamalkan pendapat orang awam semisalnya.
2. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid semisalnya, baik dia telah berijtihad atau tidak.
3. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat orang awam.
4. Termasuk taqlîd yang terlarang adalah mengambil hukum-hukum syari’at
dari seorang imam (guru) tertentu dan menganggapnya seperti nash-nash
agama yang wajib diikuti. [Lihat 1/10]
APAKAH TERMASUK TAQLIID?
Di bawah ini adalah bentuk-bentuk mengikuti perkataan orang lain namun tidak digolongkan taqlîd:
1. Mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla ; karena firman Allah Azza
wa Jalla merupakan hujjah. Banyak dalil-dalil nyata yang menunjukkan
kewajiban beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kitab suci-Nya. Berarti
konsekwensinya harus diikuti dan diamalkan.
2. Mengamalkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
karena sabda beliau merupakan hujjah. Allah Azza wa Jalla telah
memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya di dalam banyak ayat di dalam
al-Qur’ân.
3. Mengamalkan pendapat yang merupakan ijmâ’ (kesepakatan Ulama’);
karena pengamalan ini berdasarkan hujjah, maksudnya al-Qur’ân dan Sunnah
mewajibkan kaum Muslimin mengamalkan ijmâ’.
4. Seorang qâdhi (hakim) menerima dan menghukumi berdasar persaksian
para saksi yang adil. Karena menghukumi dengan dasar persaksian para
saksi yang telah memenuhi rukun dan syarat, telah ditunjukkan oleh
al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.
5. Orang awam yang mengamalkan fatwa seorang mufti, karena hal ini
berdasarkan hujjah. Yaitu ijmâ’ Ulama tentang kewajiban orang awam
meruju’ ke mufti dalam masalah yang dia butuhkan.
6. Mengamalkan riwayat dari perawi, karena hal ini berdasarkan
hujjah. Yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan riwayat
yang benar.
7. Mengamalkan perkataan Sahabat, jika tidak ada Sahabat lain yang
menyelisihinya. Karena perkataan Sahabat yang tidak menyelisihi
al-Qur’ân, Sunnah serta tidak menyelisihi perkataan Sahabat yang lain
merupakan hujjah, menurut pendapat yang râjih (kuat).
CONTOH-CONTOH TAQLID YANG HARAM
1. Pendapat firqah Syi’ah Imamiyah yang mewajibkan mengikuti imam yang
mereka anggap ma’shûm, walaupun menyelisihi ajaran Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
2. Anggapan sebagian orang yang fanatik kepada madzhab imam tertentu,
bahwa pendapat-pendapat imam mereka adalah syari’at, sampai mereka
tidak bisa menerima jika ada keutamaan yang dinisbatkan kepada seorang
Ulama yang bukan imam mereka.
3. Pendapat sekelompok orang yang mengaku mengikuti ahli Tashawwuf
yang menjadikan perkataan-perkataan dan kejadian-kejadian yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka sebagai agama, sekalipun
menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah.
4. Para muqallîd (orang-orang yang taqlîd) menjadikan hakim sebagian
syaikh (wali) yang mereka anggap telah meraih derajat kesempurnaan
tertinggi, dan mereka menisbatkan kesalahan yang mereka lakukan kepada
syaikh-syaikh itu, serta menolak kebenaran yang dinukilkan dari para
Ulama yang mendahului para syaikh itu.
5. Pendapat para rasionalis dari firqah Mu’tazilah yang mengukur
kebaikan dan keburukan dengan akal. Akhirnya, menjadikan akal manusia
sebagai hakim dengan tanpa memperdulikan syari’at. Jika syari’at sesuai
dengan akal dan hawa nafsu mereka, mereka menerimanya; jika tidak,
mereka menolaknya.
Dengan penjelasan singkat ini, kita bisa mengetahui berbagai jenis
taqlîd terlarang yang masih banyak dilakukan oleh sebagian umat ini.
Untuk itu, hendaknya kita kembali kepada agama kita yang akan
menghantarkan kepada kebaikan di dunia dan akhirat.
(Referensi : kitab At-Taqlîd wal Iftâ’ wal Istiftâ’, karya Syaikh `Abdul Azîz ar-Râjihi)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi,
tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th.
1419 H / 1999 M
[2]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi,
tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th.
1419 H / 1999 M
0 komentar:
Posting Komentar